Manajemen Mutu Lingkungan

Maret 6, 2011 pukul 12:47 pm | Ditulis dalam AQUACULTURE | Tinggalkan komentar

MUTU LINGKUNGAN TAMBAK

diolah dari berbagi sumber

Mutu lingkungan tambak berhubungan dengan timbulnya penyakit, karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lingkungan, se-hingga usaha untuk mencegah timbulnya penyakit dapat dilakukan sedini mungkin.

Mutu lingkungan tambak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor lingkungan mikro (internal) dan faktor lingkungan makro (eksternal). Ling-kungan mikro adalah kondisi lingkungan di dalam lingkup tambak yang sepenuhnya dapat dikendalikan oleh petani tambak, sedangkan lingkungan makro adalah kondisi lingkungan di luar tambak, termasuk daerah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang mempunyai pengaruh cukup dominan terhadap mutu lingkungan mikro di dalam tambak, tetapi sulit untuk dikendalikan oleh petani tambak.

Lingkungan Mikro

Komponen yang berpengaruh dominan terhadap mutu lingkungan mikro terutama adalah : tanah/lahan tambak, tata letak dan konstruksi tambak, pengelolaan budidaya, dan jasad pengganggu.

Lahan/tanah tambak. Dua  hal  pokoknya yang perlu diperhatikan dalam mem-persiapkan tambak adalah jenis dan tekstur tanah (Poernomo, 1989; Poernomo, 1992). Lebih dari 75% jenis tanah di lahan pasang surut yang tersedia untuk pembangunan tambak adalah tanah pirit, sisanya berupa tanah gambut, dan tanah-tanah endapan baru (tanah timbul).

Lahan dengan tebal lapisan gambut lebih dari 0,5 m tidak dianjurkan untuk tambak, sedangkanlahan berpirit walaupun ber-masalah masih dapat diperbaiki dengan cara yang mudah dan murah. Perbaikan (reklamasi) tanah untuk tambak memer-lukan air laut yang cukup dan mudah mengalir karena gerakan pasang surut, serta tanggul tidak bocor (Poernomo, 1983; Poernomo, 1986; Poernomo, 1992; Poernomo and Singh, 1982).

Masalah yang sering dijumpai pada tambak udang intensif adalah :

  • Tambak-tambak yang dibangun di lahan gambut atau tanah berpirit, tanggulnya sangat rapuh sehingga tanah dasar tambak tidak dapat direklamasi, karena tidak dapat dikeringkan dengan baik. Penge-ringan tanah dasar secara sempurna mutlak harus dilakukan dalam proses reklamasi.
  • Walaupun tanggul cukup kuat dan tanah dasar dapat kering dengan se reklamasi ini tidak pernah dilakukan oleh petani. Aki-batnya pada musim tanam pertama sampai kedua udang masih dapat dipanen. Setelah itu, panen gagal karena udang yang dipelihara mati akibat gangguan fisik atau terserang penyakit. Kegagalan terbesar di Sumatera Utara disebabkan oleh karena tanahnya berpirit serta dipengaruhi oleh air rawa yang alkalinitasnya rendah dan kandungan asam organiknya tinggi. Kasus kegagalan karena tanah pirit juga banyak dijumpai di daerah lain, yaitu : Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Utara, Bali dan Jawa.

Usaha yang dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut adalah melakukan reklamasi secara tuntas pada tahap awal setelah konstruksi tambak selesai dan melakukan penebaran setelah reklamasi. Tambak tidak dapat dibangun pada tanah yang bertekstur pasir, sebab air terlalu banyak hilang, sehingga sulit memperoleh mutu air yang stabil dalam tambak. Selain itu kepadatan plankton sulit diper-tahankan, sehingga udang mengalami stres. Pada kondisi demikian bisa digunakan plastik untuk melapisi atau menutup tanah dasar dan lereng tanggul (tambak plastik), namun biayanya cukup mahal.

Tata letak dan Konstruksi.

Tata letak dan konstruksi tambak mempunyai fungsi strategis terhadap mutu air di dalam tambak udang intensif. Tata letak harus dibuat sedemikian rupa sehingga air buangan limbah dari petakan tidak mencemari sumber air pasok. Tata letak tersebut sangat penting terutama bagi tambak intensif yang terletak di satu hamparan.

Pada saat ini, hampir di setiap hamparan tambak intensif mempunyai saluran pasok utama dan buang pada tiap unit tambak yang kondisinya tumpang tindih, sehingga terjadi kontaminasi limbah dari air tambak. Kontaminasi limbah tersebut akan semakin parah karena pembuangan dan pengambilan air oleh masing-masing petani tambak tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan. Situasi demikian sangat dirasakan oleh petani yang mempunyai tambak di pantai yang landai dan berlumpur sedangkan arusnya lemah.

Usaha yang dilakukan untuk mencegah kontaminasi adalah semua petani tambak di satu hamparan membuang air limbah secara bersamaan pada saat air surut. Dengan cara demikian, air limbah dapat terbilas dengan cepat dan tuntas karena dorongan arus yang lebih kuat. Bagi tambak-tambak yang berlokasi di sepanjang pantai yang landai dan airnya keruh serta perbedaan pasang tertinggi dan surut terendahnya kecil, misalnya di sepanjang pantai Timur Lampung dan pantai Utara Jawa, perlu dibuatkan petak atau parit pengendapan yang sekaligus berfungsi sebagai tandon atau reservoir. Tandon tersebut disamping berfungsi mengendapkan partikel lumpur juga menampung residu polutan yang berasal dari limbah industri, pertanian, dan pemukiman. Dengan demikian air yang masuk ke dalam petak pembesaran sudak bersih. Hal ini sangat membantu usaha memper-tahankan kestabilan mutu air di dalam tambak.

Pada tambak-tambak intensif jarang dijumpai petak pengendapan, walaupun hamparan tambak tersebut terletak di sepanjang pantai yang airnya keruh seperti di Cirebon, Kerawang, Tangerang dan Serang. Pengambilan air dengan “jetty” ke tengah laut yang hanya berjarak 200 – 500 m dari garis pantai, untuk mengisi tambak, masih belum banyak membantu.

Unsur konstruksi yang perlu diper-hatikan bagi tambak udang intensif adalah ukuran dan bentuk petakan, elevasi dan kemiringan dasar tambak, ukuran dan kemiringan lereng tanggul, kepadatan tanggul serta kedalaman air di dalam tambak. Keten-tuan-ketentuan ini penting untuk memenuhi kebutuhan biologi udang, dan membuat pengelolaan budidaya lebih mudah dan efisien.

Model yang ideal untuk tambak intensif dengan kepadatan tebar tinggi adalah petak berbentuk bujur sangkar, yang luasnya 4.000 – 5.000 m2 dengan pintu pembersih kotoran di tengah. Dasar tambak melandai ke titik tengah. Fungsi dari dasar tambak yang melandai ke tengah adalah agar kotoran terkumpul di tengah dan terbuang melalui saluran tengah. Jarak tepian tambak ke tengah tambak mempenga-ruhi banyaknya oksigen terlarut.

Oleh: akang dedy dari berbagai sumber

Penggunaan Chlorine dalam akuakultur

Di air permukaan dan air tanah klorin bukan konstituen alamiah, sehingga keberadaannya disana menjelaskan adanya kegiatan manusia seperti pengolahan limbah. Dalam akuakultur, klorin digunakan untuk desinfeksi air, peralatan dan bak-bak pemeliharaan. Fisik chlorine yang digunakan biasanya dalam bentuk gas (Cl2) dan granul atau bubuk seperti sodium hipoklorit (NaOCl) dan kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2). Penggunaan gas klorin lebih efisien untuk perlakuan air volume besar karena biayanya relatif lebih rendah.

Efek toksik chlorinasi terletak pada pembentukan asam hipoklorit (HOCl) dan hasil penguraiannya yakni ion hipoklorit (OCl-). Asam hipoklorit relatif lebih toksik dibanding ion hipoklorit. Ini dikarenakan sifat ion yang dimiliki hipoklorit sehingga penetrasinya ke dalam membran lebih terhambat. Keduanya adalah antioksidan kuat dan merusak insang dengan masuk melalui membran sel dan daya rusaknya bersifat menyeluruh seperti struktur sel, enzim dan purin, pirimidin dari DNA-RNA. Fakta-fakta penting:
1. Asam hipoklorit banyak terbentuk pada pH asam sedangkan ion hipoklorit meningkat pada pH basa. Dengan demikian klorinasi lebih efektif pada pH asam. Asam asetat bisa ditambahkan untuk meningkatkan efektifitasnya.
2. Diperlukan 7,4 ppm Na2S2O3.5H2O untuk  menetralisir 1 ppm klorin
3. Adanya bahan organik termasuk karbon aktif dapat mengurangi efektifitasnya.
4. Desinfeksi air limbah dapat dilakukan dengan 1-3 ppm klorin atau 3-5 ppm jika ada pathogen. Sedangkan peralatan didesinfeksi dengan dosis 100-200 ppm selama 30 menit.
5. Dosis 0,1-0,3 ppm cukup toksik untuk membunuh ikan.
Bakteri mengisi semua relung ekologis kecil. Bakteri hampir di mana-mana, dan jenis yang bermacam-macam memungkinkannya tumbuh bahkan dalam kondisi terberat. Di kolam budidaya, proses bakterial memiliki dampak mendalam terhadap kualitas air. Bakteri menguraikan bahan organik yang berasal dari pakan atau dari kegiatan autotroph alga dan cyanobacteria. Cara bakteri menguraikan bahan organik mempengaruhi kualitas air. Hal ini karena produk dekomposisi dapat bernilai gizi atau malah beracun.

Dekomposisi kotoran berjalan sbb:

  • Limbah terurai ke unit berat moleku yang lebih kecil bakteri penghidrolisis. Unit-unit yang lebih kecil ini kemudian diurai aerobik atau anaerobik.
  • Dalam dekomposisi aerobik, bakteri menggunakan oksigen untuk menguraikan limbah organik. Produk akhir adalah CO2 dan massa sel bakteri.
  • Dalam dekomposisi anaerob di air asin, proses multi langkah melibatkan fermentasi dan kemudian sulfat hasil reduksi hidrogen sulfida.

 Hidrolisis
Hidrolisis adalah langkah pertama dalam pemecahan bahan organik. Misalnya, ketika blooming berbagai enzim hidrolitik bakteri dan jamur mulai merusak dinding sel dan melepaskan isinya. Proses ini adalah yang paling lambat dalam proses dekomposisi. Percepatan dapat dilakukan dengan probiotik aktif dalam jumlah besar dan mempertahankan tingkat bahan organik terlarut dalam kolom air agar enzim aktif tetap berada dalam kolom air.

Dekomposisi aerobik
Ini adalah pertumbuhan sel bakteri menggunakan karbon organik sebagai sumber energi untuk pertumbuhan, dan oksigen sebagai akseptor elektron. Ini adalah proses dekomposisi yang paling efisien bila C: N: P ratio seimbang dan banyak oksigen. Jika pasokan C organik rendah, amonia dan produk dekomposisi sebagian dilepaskan selama proses dekomposisi. Keterbatasan C akan menyebabkan inefisiensi degradasi mikroba dan akumulasi lumpur. Kelebihan C juga bisa menjadi masalah,  memperlambat keseluruhan proses karena bakteri perlu mengoksidasi kelebihan C sampai C/N optimum tercapai. Jika oksigen kurang, kadar DO dapat berkurang secara dramatis dan membunuh udang dan ikan. Di kolam budidaya, C organik sering dibutuhkan untuk menyeimbangkankarena sebagian besar bahan yang membusuk banyak berprotein. Molase berguna karena membantu menyeimbangkan C: N.

Fermentasi
Fermentasi adalah proses yang dilakukan oleh bakteri dan jamur yang memecah bahan organik saat tidak ada oksigen. Dalam kolam, fermentasi terjadi di “wilayah mati” di mana bahan organik cenderung untuk mengumpul karena kurangnya aliran air di daerah tersebut. Produk fermentasi memberikan bau tak sedap yang khas.
Fermentasi pada umumnya merupakan proses yang lambat jika dibandingkan dengan dekomposisi aerobik. Banyak mikroba memiliki kemampuan untuk beralih antara fermentasi dan pertumbuhan aerobik (yang disebut “anaerob fakultatif”). Ketika tumbuh secara anaerobik, fermentor ini tidak efisien mereproduksi diri mereka sendiri tetapi mampu memecah bahan organik untuk produk menengah.
Produk-produk akhir sering berbau dan bersulphid dan  merusak kualitas air dan dasar tambak. Proses pemecahan parsial protein bahan organik oleh fermentasi sering disebut pembusukan karena bau busuk. H2S diproduksi secara khusus jika bahan limbah memiliki C : N rasio rendah. Mempertahankan C : N rasio dengan penambahan C organik ekstra dan juga menjaga pencampuran dan aerasi yang baik sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Namun di kolam akan selalu ada tempat kumpul sampah organik. C bermanfaat karena meminimalkan pembusukan dan membantu mempercepat aktivitas SRB’s (bakteri pereduksi sulfat).

Reduksi sulfat
Ketika bakteri bekerja untuk membusukan atau “mengoksidasi” bahan organik, mereka perlu senyawa kimia lain untuk direduksi. Oksigen direduksi menjadi CO2. Ketika pasokan oksigen rendah, bakteri dapat memanfaatkan molekul-molekul lain seperti mangan, besi (Fe3 +) atau nitrat. Namun ketika digunakan sulfat (SO43-) mereka menghasilkan sulfida, yang dapat beracun ke kolam organisme, terutama ikan dan udang. Produk-produk lainnya adalah asetat dan gas hidrogen serta senyawa lainnya.

Di kolam, tujuannya adalah untuk mengatur kolam supaya tidak ada “kawasan mati” di mana bahan organik dapat terkumpul. Namun, ini sulit dalam praktek, dan biasanya ada beberapa “kawasan mati” di dalam kolam. Dalam lokasi ini oksigen sangat cepat habis, bakteri fermentasi dimulai. Penambahan C organik telah terbukti mempercepat kegiatan ini dan ini menguntungkan karena menjaga jumlah limbah organik minimum di kolam.
Konsentrasi sulfat air laut adalah sekitar 2.700 mg per liter, sehingga  air tambak sangat rentan terhadap  SRB’s. Daerah mati menjadi pabrik sulfida , memompa sulfida beracun ke dalam air. Prosesnya sebagai berikut:
2CO2 + H2S + 2H2O”>CH3COO-+ SO4-+ 3H + —–> 2CO2 + 2H2O + H2S

4H2 + SO4 H2S + 2H2O + 2OH-”>—–> H2S + 2H2O + 2OH-
Asetat dan hidrogen adalah produk umum dari fermentasi bahan organik dan juga substrat untuk pertumbuhan SRB’s. Perhatikan bahwa reaksi menghasilkan CO2 serta H2S dan akan menggunakan proton H sehingga menaikkan pH dan menyebabkan peningkatan pada kadar amonia. Jika C: N ratio rendah (misalnya limbah protein) produk pembusukan akan terakumulasi dan kualitas air akan turun.
Produksi sulfida dari daerah-daerah sering dapat disertai oleh penurunan DO dan penurunan pH sebagai resultan CO2 dipompa ke dalam air oleh bakteri aktif. pH dapat dinaikkan untuk mengurangi proporsi H2S atau lebih baik, peroksida dapat diterapkan untuk mengkonversi H2S menjadi S.
Denitrifikasi
Ini adalah proses dimana bakteri menggunakan nitrat (NO3) sebagai sumber oksigen ketika kadar oksigen rendah. Proses denitrifikasi adalah proses dua langkah, dengan nitrit diproduksi sebagai intermediate:

6NO2 + 2CO2 + 4H2O”>Langkah 1: 2CH3OH + 6NO3- + —–> 6NO2 + 2CO2 + 4H2O”>6NO2 + 6NO2 + 2CO2 + 4H2O”>2CO2 + 4H2O
Langkah 2: 6NO2 + 3CH3OH—–>  3N2 + 3CO2 + 3H2O + 6OH-

Persamaan ini menunjukkan bahwa langkah 2 memerlukan sumber karbon lebih banyak daripada yang pertama, sehingga ketika karbon kurang, seperti yang biasanya terjadi di kolam, NO2 dapat menumpuk. Ini juga menunjukkan bahwa jika C hadir langkah 2 dapat selesai dan gas N kembali ke atmosfer. Masalah dengan denitrifikasi adalah bahwa ia bekerja terbaik ketika oksigen kurang dari  1 ppm sehingga kolam eksternal untuk daur ulang air mungkin berguna.
Nitrifikasi
Nitrifikasi adalah konversi amonia menjadi nitrit, dan nitrit ke nitrat. Ini adalah dua proses terpisah yang dilaksanakan oleh dua kelompok bakteri. Konversi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh Nitrosomonas spp. serta beberapa spesies lainnya. Bila bakteri ini menggunakan amonia mereka mengasimilasi N dari amonia dan menciptakan lebih banyak sel bakteri, seperti terlihat di sini:
55NH4 + + 5CO2 + 70O2 —–> C5H7O2N + 54NO2 + 52H2O + 109H +
Hal ini dapat dilihat dari persamaan di atas bahwa:

  • pembangunan sel bakteri baru sangat inefisien: untuk setiap 55 N yang digunakan, hanya satu yang dikonversikan ke massa sel baru, sisanya dikonversi menjadi “limbah” nitrit
  • proses menghasilkan banyak asam: 55 molekul ammonium menghasilkan proton H + 109
  • proses ini memerlukan banyak oksigen: setiap gram amonia dioksidasi membutuhkan lebih dari 3 gram oksigen
  • bakteri dapat tumbuh tanpa sumber karbon organik: mereka menggunakan CO2 sebagai sumber karbon

Konversi dari nitrit ke nitrat dilakukan oleh Nitrobacter spp. sebagai berikut:

C5H7O2N + 400NO3- + H+”>400NO2 -+ 5CO2 + NH4 + + 2H2O + 195 O2 —–> C5H7O2N + 400NO3-+ H+

Hal ini dapat dilihat bahwa

  • kebutuhan oksigen jauh lebih kecil daripada untuk bioreaction amonia nitrit
  • produksi biomassa Nitrobacter jauh lebih inefisien daripada produksi biomassa Nitrosomonas: 5.600 gram Nitrit-N dibutuhkan untuk membuat biomassa selular 113 grams biomass
  • produksi asam juga lebih sedikit
  • karbon anorganik digunakan untuk membuat biomassa sel

The biokonversi keseluruhan amonia menjadi nitrat adalah:
0.021 C5H7O2N +0.98 NO3- + 1.041H2O +1.88H2CO3″>NH4 + + 1,83O2 + 1,98 HCO3  —–> 0,021C5H7O2N + 0,98NO3-+ 1,88H2CO3 + 1.041H2O 1,88
Persamaan ini menunjukkan bahwa untuk setiap gram N-NH4 + dioksidasi menjadi NO3 – N, 4,18 gram oksigen dan 7,14 g alkalinitas (sebagai CaCO3) dan 0,17 g sel yang dihasilkan.

Nitrifikasi adalah sebuah proses yang dapat mengkonversi amonia menjadi nitrit yang juga dapat menjadi racun. Proses ini mengkonsumsi TA dan oksigen, dan menghasilkan biomassa sedikit. Nitrit pada gilirannya dapat dikonversi menjadi nitrat. Demikian juga, biomassa sangat sedikit diproduksi. Masalah penting dan nyata  adalah bahwa nitrogen dalam amonia dan nitrat digunakan oleh semua jenis reaksi mikroba, sedangkan nitrit merupakan sesuatu produk akhir, dan biasanya hanya akan digunakan jika sumber-sumber N lain rendah .
Probiotik

Probiotik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penerapan bakteri hidup dalam rangka mencapai tujuan menguntungkan. Dalam akuakultur, probiotik telah digunakan selama beberapa tahun untuk membantu memperbaiki kondisi air kolam. Cara utama bekerja adalah mempercepat hidrolisis molekul berukuran besar dan sehingga mengurangi akumulasi lumpur. Ada juga sejumlah besar bukti yang tersedia yang mendukung gagasan bahwa penerapan beberapa jenis bakteri dapat membantu mengendalikan penyakit.
Kunci untuk mendapatkan hasil yang baik ketika menggunakan bakteri probiotik adalah

* Untuk memastikan bahwa jumlah bakteri cukup layak ditambahkan ke air, dan
* Untuk memastikan bahwa kondisi kolam cukup kondusif bagi bakteri untuk tumbuh

 Satu-satunya cara ekonomis untuk mendapatkan jumlah bakteri yang cukup adalah menumbuhkan bakteri di starter. Hal ini dapat dilakukan dalam tangki dengan menggunakan dedak ditambah beberapa nutrisi penting. Metode dedak mungkin unggul karena memungkinkan bakteri untuk mendapatkan oksigen lebih baik, sedangkan pertumbuhan bakteri dalam molase, oksigen cepat menjadi faktor pembatas. Di tambak yang bersangkutan, harus ada oksigenasi yang memadai, dan harus ada sumber makanan organik bagi bakteri.

Tinggalkan sebuah Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar


Entries dan komentar feeds.