Konsep Minapolitan

November 8, 2009 pukul 9:12 am | Ditulis dalam AQUACULTURE | 2 Komentar

MINAPOLITAN

minapolitan merupakan bagian dari kawasan agropolitan. dimana berasal dari kata MINA dan POLITAN. mina = ikan. dan politan = kawasan.

KAWASAN AGROPOLITAN : Menurut UU Penataan Ruang No 26/2007, didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis.

KAWASAN MINAPOLITAN berdasarkan turunan kawasan Agropolitan : adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis.
Batasan Istilah dan Konsepsi Minapolitan

* Sentra pengembangan adalah suatu hamparan komoditas perikanan berskala ekonomi di suatu wilayah minaekosistem, dimana wilayah tersebut dilengkapi dengan sarana prasarana yang dibutuhkan, kelembagaan, pengolahan/pemasaran, dan sektor lain yang menunjang perkembangan dari sentra komoditas tersebut.

* Masterplan adalah rencana induk multi tahun komoditas ikan hias di kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar, kegiatannya meliputi komoditas unggulan dan komoditas penunjangnya serta pembangunan kegiatan lainnya yang serasi dan dibutuhkan sehingga pembangunan minaekosistem dengan komoditas unggulannya akan dapat mencapai sasaran, yaitu kesejahteraan pembudidaya dan pertumbuhan ekonomi wilayah.
* Kawasan minapolitan (berdasarkan turunan dari kawasan agropolitan) adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dari hierarki keruangan satuan sistem pemukiman dan sistem minabisis. Minapolitan/agropolitan menurut Friedman dan Douglass (1985) adalah aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah pedesaan denga jumlah penduduk antara 50.000 jiwa sampai dengan 150.000 jiwa.
* Komoditas andalan adalah sejumlah komoditas yang dapat dibudidayakan atau dikembangkan disuatu wilayah Kabupaten berdasarkan analisis kesesuaian aquaekologi (air, tanah dan iklim).
* Komoditas unggulan (misalnya ikan hias) adalah salah satu komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan di suatu wilayah yang mempunyai prospek pasar dan peningkatan pendapatan/kesejahteraan pembudidaya ikan dan keluarga serta mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup besar.
* Komoditas penunjang adalah komoditas-komoditas lain yang dapat dipadukan pengusahaannya dengan komoditas pokok (unggulan) yang dikembangkan di suatu lokasi atau sentra komoditas unggulan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, sarana/prasarana) dan peningkatan pendapatan pembudidaya ikan melalui peningkatan produksi maupun keterpaduan pengusahaannya akan meningkatkan efisiensi/saling memanfaatkan
* Minabisnis merupakan suatu kegiatan penanganan komoditas secara komprehensif mulai dari hulu sampai hilir (pengadaan dan penyaluran minainput, proses produksi, pengolahan, dan pemasaran).

Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan

Berdasarkan issue dan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan minapolitan merupakan alternative solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan). Kawasan minapolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat minapolitan dan desa-desa disekitarnya membentuk kawasan minapolitan. Disamping itu, kawsan minapolitan ini juga dicirikan dengan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis dipusat minapolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangun perikanan (minabisnis) diwilayah sekitarnya

Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan minapolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian, tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan.

Disamping itu pentingnya pengembangan kawasan minapolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan perikanan dan tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skill) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar pembudidaya, jaringan (network) terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata (institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia dibandingkan denga negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan minapolitan ini menggunakan potensi local, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya social local (local social culture).

Secara lebih luas, pengembangan kawasan minapolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan minapolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan secara terintegrasi, perlu disusun masterplan pengembangan kawasan minapolitan yang akan menjadi cuan penyusunan program pengembangan. Adapun muatan yang terkandung didalamnya adalah:

1. Penetapan pusat agropolitan/minapolitan yang berfungsi sebagai (Douglas 1986):

1. Pusat perdagangan dan transportasi perikanan (aquacultural trade/transport center).
2. Penyedia jasa pendukung perikanan (aquacultural support services).
3. Pasar konsumen produk non-perikanan (non aquacultural consumers market).
4. Pusat industry perikanan (aqua based industry).
5. Penyedia pekerjaan non perikanan (non-aquacultural employment).
6. Pusat minapolitan dan hinterlandnya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten).

2. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986):

1. Pusat produksi perikanan (aquacultural production).
2. Intensifikasi perikanan (aquacultural intensification).
3. Pusat pendapatan perdesaan da permintaan untuk barang-barang dan jasa non-perikanan (rural income and demand for non-aquacultural goods and services).
4. Produksi ikan siap jual dan diversifikasi perikanan (cash fish production and aquacultural diversification).

3. Penetapan sektor unggulan:

1. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
2. Kegiatan minabisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan local).
3. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.

4. Dukungan sistem infrastruktur

Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan minapolitan diantaranya: jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).

5. Dukungan sistem kelembagaan.

1. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan minapolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat.
2. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan minapolitan.

Melalui keterkaitan tersebut, pusat minapolitan dan kawasan produksi perikanan berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan untuk meningkatkan niali tambah (value added) produksi kawasan minapolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan.
Pengembangan Wilayah

Perwilayahan atau regionalisasi adalah pembagian wilayah nasional dalam satuan geografi (atau daerah administrasi) sehingga setiap bagian mempunyai sifat tertentu yang khas (Gitlin dalam Jayadinata, 1991:174). Ini dimaksudkan pula untuk pemerataan pembangunan

Pengembangan wilayah atau regional planning adalah semua usaha yang dengan sadar merencanakan pengembangan daerah ditinjau dari berbagai segi sebagai satu kesatuan, yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hubungan manusia dan alamnya (Nurzaman 19xx:2). Berbagai segi tersebut meliputi: ekonomi, sosial, maupun fisik. Sehingga hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh seorang regional planner ialah menyelaraskan struktur hubungan spasial dari suatu aktifitas ekonomi (Friedmann, 1966:39). Pengembangan wilayah antara lain ditujukan untuk:

1. Meningkatkan keserasian&keseimbangan antar pembangunan sektoral dengan regional
2. Meningkatkan keserasian & keseimbangan pembangunan antarwilayah,
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan dan
4. Meningkatkan keserasian hubungan antar pusat-pusat wilayah dengan hinterlandnya serta hubungan antara kota & desa (Muta’ali,1995).

Rondinelli (1985), mengungkapkan bahwa tingkat perkembangan wilayah (regional growth) dapat diukur dalam 3 indikator, yaitu:

1. Karakteristik sosio-ekonomi dan demografi, diukur melalui pendapatan perkapita, kebutuhan fisik (fasilitas) minimum, PDRB, investasi, jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, dan kepadatan penduduk.
2. Kontribusi industri dan produksi pertanian diukur melalui prosentase penyerapan tenaga kerja, jumlah perusahaan komersil, luas total lahan, produktivitas pertanian.
3. Transportasi, diukur melalui kualitas, kepadatan, tipe dan panjang jalan.

Menurut Soepono (1990:161), pertumbuhan wilayah dapat diukur dari indikator-indikator berikut ini; pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita atau PDRB, dan Perubahan struktur spasial wilayah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengembangan wilayah merupakan perpaduan antara pengembangan spasial dan non spasial.
Penataan Ruang

Kegiatan penataan ruang, menurut UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, meliputi keseluruhan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pertimbangan utama dalam penataan ruang meliputi kriteria kawasan budidaya dan non budidaya dalam pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi wilayah dan ‘interest’ (minat sektor pembangunan, aspirasi daerah, kaitan antar wilayah dan lain sebagainya). Secara garis besar penataan ruang bertujuan menunjang:

1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas SDM; mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan

Bagian wilayah berupa ruang yang merupakan transisi antara ruang laut dan ruang darat lebih dikenal sebagai pesisir. Pengertian Pesisir menurut Jacub Rais (1996) adalah suatu konsep keruangan yang mana terjadi interaksi darat-laut, yang harus dibedakan dengan pantai, karena pantai adalah pengertian fisik sebagai bagian dari pesisir. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

Menurut Dahuri et.al.(2000:6), untuk kepentingan pengelolaan, batasan pesisir ke arah darat dapat ditetapkan menjadi 2 jenis, yaitu batasan untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management). Apabila terdapat kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu). Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan.

Berbagai aktifitas yang dapat dilakukan di pesisir dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi (Cicin-Sain dan Knetch:1998, dalam Sondita, 2001:9), meliputi:
Aktifitas Perwilayahan dan Ekonomi di Kawasan Pesisir
Fungsi Aktifitas
1. Perencanaan

Wilayah

* Pengkajian lingkungan pesisir dan pemanfaatannya
* Penentuan zonasi pemanfaatan ruang
* Pengaturan proyek-proyek pembangunan pesisir dan kedekatannya dengan garis pantai
* Penyuluhan masyarakat untuk apresiasi terhadap kawasan pesisir/ lautan
* Pengaturan akses umum terhadap pesisir dan lautan

2. Pembangunan Ekonomi

* Industri perikanan tangkap
* Perikanan rakyat
* Wisata massal dan ekowisata, wisata bahari
* Perikanan budidaya
* Perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan
* Pertambangan lepas pantai
* Penelitian kelautan & Akses terhadap sumberdaya genetika

Sumber: Cicin-Sain dan Knetch : 1998

Perencanaan dan pengelolaan pesisir secara sektoral berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, atau industri minyak dan gas (Dahuri et.al., 2001:11), pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan untuk melakukan aktifitas pembangunan pada wilayah pesisir yang sama. Konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah pesisir dan laut tertentu. Menurut Miles (1991, dalam Prihartini et.al. 2001:24), konflik antar pengguna meliputi: (a) Kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut (b) Dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan yang lain, (c) Dampak negatif terhadap ekosistem
2. Konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan program yang berkaitan dengan pesisir dan laut; yang disebabkan oleh ketidakjelasan mandat hukum dan misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan pendukung atau konstituensi, serta kurangnya komunikasi dan informasi (Cicin-Sain, 1998).

Adapun sebagai upaya menghindari terjadinya konflik pemanfataan ruang pesisir maka diperlukan prinsip-prinsip penataan ruang pesisir (Anonim, 2003:4), sebagai berikut:

1. Penataan ruang wilayah pesisir perlu menetapkan batas-batas daerah pengembangan di lautan dengan prinsip menjamin pemanfaataan yang berkelanjutan, terutama bagi ekosistem yang memiliki dampak luas dan penting bagi ekosistem laut lainnya, serta memberi kesempatan pemulihan area yang telah rusak.
2. Mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam satu daerah pantai dan pesisir secara bersinergi satu dengan lainnya, tanpa ada satu pihak yang dirugikan.
3. Dalam rangka pengembangan dan penataan ruang wilayah pesisir diperlukan keterpaduan program, baik lintas sektor maupun daerah. Dalam kerangka tersebut, pelaksanaan pembangunan yang konsisten dengan rencana tata ruang yang telah disusun sangat mendukung terwujudnya keterpaduan pelaksanaan pembangunan.
4. Perlu diarahkan untuk menyediakan ruang yang memadai bagi kegiatan masyarakat pesisir yang spesifik, yakni pemanfaatan sumberdaya di laut. Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada kegiatan darat dalam mengejar pertumbuhan ekonomi selama ini terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan , namun menjadikan masyarakat pesisir semakin terpinggirkan.

Oleh karena itulah, dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Menurut Dahuri et.al. (2001:11), perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktifitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Perikanan

Subsektor perikanan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru perekonomian Indonesia mengingat prospek pasar, baik dalam negeri maupun internasional cukup cerah (Parwinia, 2001:1).

Menurut Soselisa (2001:5), perikanan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya hewan atau tanaman air yang hidup bebas di laut atau perairan umum. Adapun menurut Mubyarto (1984:23), yang dimaksud dengan perikanan ialah segala usaha penangkapan, budidaya ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya. Sedangkan menurut UU No 9 tahun 1985, perikanan ialah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yaitu kegiatan ekonomi bidang penangkapan/pembudidayaan ikan.

Klasifikasi Ikan didalam UU No 9 tahun 1985 adalah: Pisces (ikan bersirip), crustacea (udang, kepiting, dan sebangsanya), Mollusca (kerang, cumi-cumi, dsb), Echinodermata (teripang, bulu babi dsb), Amphibi (kodok, dsb), Reptilia (buaya, penyu,dsb), Mammalia (paus, pesut, dsb), Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidup di air), dan biota perairan lain yang berkaitan dengan jenis-jenis diatas. Untuk kepentingan pengelolaan (Anonim, 2001:II-38), ikan laut digolongkan sebagai berikut:

a) Ikan Karang,

b) Rumput Laut,

c) Ikan Hias, misalnya: Napoleon,

d) Ikan Demersal, ialah kelompok ikan yang hidup dan mencari makan di dasar laut/perairan, seperti: kakap, pari

e) Ikan Pelagis Kecil, ialah ikan yang hidup dan mencari makan di laut bagian atas dekat dengan permukaan, meliputi: layang, teri, tembang, lemuru, dan belanak,

f) Ikan Pelagis Besar, umumnya termasuk kategori ikan ekonomis penting, diantaranya tuna, tongkol, cucut, dan layangan, serta

g) Krustasea, meliputi: udang peneaid, lobster, kerang, Cumi-Cumi

Ikan merupakan sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan mempunyai sifat ’open access’ dan ’common property’, artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation/overfishing), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment). Sebagai komoditi ekonomi, sifat komoditi perikanan dapat diuraikan:

1. Jumlah dan kualitas hasil perikanan dapat berubah-ubah karena sangat tergantung pada keadaan cuaca dalam tahun yang bersangkutan (Hanafiah, 1986:4)
2. Lokal dan spesifik, tidak dapat diproduksi di semua tempat (Soekartawi, 1999:177)
3. Perputaran modal cepat
4. Jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit/bulky (Soekartawi, 1999:177)
5. Mudah rusak (perishable) dan resiko tinggi sehingga jika pemasarannya tidak cepat sampai ke konsumen harga ikan bisa turun drastis (Rahardi et.al, 2001:14).

Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sub-subsektor perikanan (Setyohadi, 1997:33), diantaranya:

1. Nelayan,
2. Tengkulak Ikan atau pedagang pengumpul,
3. Koperasi Perikanan,
4. Pengusaha Perikanan,
5. Konsumen Ikan, dan
6. Departemen Kelautan dan Perikanan Khususnya Direktorat Jenderal Perikanan ditingkat nasional dan propinsi serta Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten/Kota,

Departemen Pertanian (1985) merumuskan bahwa perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan perikanan ditempuh melalui empat usaha pokok yaitu:

1. Ekstensifikasi, yakni upaya peningkatan produksi perikanan/perairan melalui perluasan/ penambahan sarana produksi dan/atau areal baru meliputi perluasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) bagi usaha penangkapan ikan (Anonim, 2001:xx)
2. Intensifikasi, yang diarahkan untuk mencapai produktifitas yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan,
3. Diversifikasi, merupakan upaya penganekaragaman usaha perikanan dan pengembangan industri pengolahan, dan
4. Rehabilitasi, meliputi perbaikan sarana/prasarana penunjang sumberdaya perikanan.

Empat usaha tersebut diupayakan secara terpadu, disesuaikan dengan kondisi sumberdaya, kebutuhan masyarakat serta memperhatikan pola tata ruang dan pembangunan sektor/subsektor lain (F.X. Murdjijo, 1997:15).

Dalam pelaksanaan pembangunan perikanan terdapat syarat mutlak dan syarat pelancar (Mosher, 1986 dalam Aisyah, 2003:17). Syarat mutlak merupakan syarat yang harus ada agar pembangunan perikanan berjalan lancar, jika salah satu syarat tersebut dihilangkan maka pelaksanaan pembangunan perikanan akan terhenti (kegiatan perikanan dapat berjalan namun sifatnya statis). Syarat mutlak (Banoewidjoyo, 1987 dalam Aisyah, 2003:17) adalah:

1. Adanya pasar hasil perikanan dan jalur pemasaran yang pendek,
2. Perkembangan teknologi perikanan,
3. Tersedianya bahan dan alat produksi secara lokal,
4. Adanya perangsang produksi bagi nelayan, serta
5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu untuk hasil perikanan.

Sedangkan yang termasuk syarat pelancar, diantaranya:

1. Pelaksanaan pendidikan pembangunan,
2. Pemberian kredit dan sarana produksi,
3. Kegiatan gotong-royong dikalangan petani ikan,
4. Perbaikan dan perluasan lahan untuk kegiatan perikanan

Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Soselisa, 2001:2). Menurut UU No. 19 tahun 1985 tentang Perikanan, penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, menangkap, mengumpulkan, menyimpan, mengolah atau mengawetkannya.

Perikanan tangkap menggunakan peralatan utama kapal yang dilengkapi dengan alat tangkap, baik kapal bermotor maupun non motor. Alat tangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan di perairan Indonesia diantaranya:

1. Long line,
2. Pole and Line;
3. Jaring insang hanyut (Drift Gill Net);
4. Pukat cincin (Purse Seine) atau jaring lingkar.

Konsep Pengembangan Kegiatan Fungsional Perikanan (Agribisnis Perikanan)

Dalam PROPENAS, strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan serta produksi perikanan Indonesia adalah penerapan sistem agribisnis terpadu berkelanjutan di bidang perikanan. Untuk mewujudkan usaha tersebut, kebijakan yang ditempuh adalah :

1. Meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi tinggi.
2. Pengembangan agribisnis harus mampu meningkatkan aktifitas pedesaan.
3. Pengembangan agribisnis diarahkan pada pengembangan mitra usaha antara skala besar dan skala kecil secara serasi, sehingga nilai tambah dari kegiatan agribisnis dapat dinikmati secara adil oleh seluruh pelakunya.
4. Pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra produksi perikanan dalam suatu skala ekonomi yang efisien.

Pembangunan nasional berwawasan agribisnis perlu difasilitasi sedikitnya oleh dua strategi dasar yaitu:

(1) Pendekatan agropolitan dalam pengembangan agribisnis, dan

(2) Restrukturisasi dan konsolidasi agribisnis.

Secara konsepsional, sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktifitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh produsen primer dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain (Parwinia, 2001:7). John Davis dan Ray Goldberg (1957) yang merupakan salah satu pencetus konsep agribisnis mendefinisikannya sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distributions of farm supplies; production operations on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”. Secara skematis Agribisnis dapat dilihat pada gambar 2.1.

Menurut Soekartawi (1993, dalam Winarta, 2003:9), yang dimaksud dengan agribisnis perikanan adalah suatu kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan, hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan perikanan atau kegiatan usaha yang menunjang perikanan. Sebagai sebuah sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya sistem tersebut.

Agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan penunjang (Syahrani, 2001:4). Menurut Saragih (1998), batasan agribisnis adalah sistem utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan pertanian. Menurut Muslich (1999, dalam Winarta, 2003:9).

Konsep pembangunan ekonomi agribisnis perikanan meliputi empat subsistem, yakni:

1. Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribussiness), yaitu kegiatan industri dan perdagangan yang menghasilkan sarana produksi primer seperti alat tangkap, kapal, dan lain sebagainya.
2. Subsistem usaha tani (on-farm agribussiness), yakni kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi perikanan primer, yakni kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan.
3. Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribussiness), yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditi perikanan menjadi produk olahan, pemasaran dan distribusinya, dan
4. Subsistem penunjang kegiatan perikanan (agrosupporting institutions).

Pada pembahasan berikut akan dideskripsikan kegiatan yang berlangsung pada masing-masing subsistem tersebut:

1. Subsistem Agribisnis Hulu, Meliputi kegiatan perencanaan produk, perencanaan lokasi usaha, perencanaan standar produksi, dan pengadaan tenaga kerja, pengadaan dan penyaluran sarana produksi berupa kapal dan alat tangkap,dll (Rahardi et.al., 2001:6)
2. Subsistem Agribisnis Usahatani, merupakan kegiatan penangkapan ikan di laut atau perairan lain pada perikanan tangkap dan kegiatan yang dimulai dari pembesaran/ pemeliharaan, pemberian pakan dan pemupukan, pengaturan air, pengendalian hama dan penyakit, sampai dengan panen pada perikanan budidaya (Ditjen Perikanan,1994).
3. Subsistem Agribisnis Hilir mencakup segala kegiatan pengolahan pasca produksi primer (penangkapan) hingga ke pemasaran. Industri hasil perikanan (fish processing industry), yakni seluruh mata rantai kegiatan dalam usaha pengolahan hasil laut, seperti pengalengan, pengeringan, pembekuan dan sebagainya. Jenis industri ini disebut sebagai industri sekunder. Pengemasan (packing) juga termasuk dalam rangkaian kegiatan pengolahan dan agroindustri.

Menurut Kristiawati (2001), berdasarkan jenis pengolahan yang dilakukan agroindustri perikanan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yakni:

1. Industri primer, yang mencakup industri penanganan ikan hidup, penanganan ikan segar (fillet, sashimi, loins), industri pembekuan dan pendinginan ikan.
2. Industri Pengolahan sekunder, mencakup industri pengolahan ikan kaleng dan ikan kemasan lainnya serta industri pengolahan tradisional seperti pengasinan, penggaraman, pindang, dsb.
3. Industri pengolahan tersier, meliputi setiap bentuk industri yang menggunakan ikan sebagai bahan tambahan, seperti indutri terasi, petis, abon, tepung ikan,dsb.

Syaiful (2003:4) menggolongkan Industri Hasil Perikanan (IHP) yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir, meliputi : Industri penanganan ikan hidup, Industri penanganan ikan segar, Industri pembekuan ikan, Industri pengalengan ikan, Industri pengolahan tradisional, Industri pengolahan produk diversifikasi dan hasil samping, Industri tepung ikan dan pakan ternak, Industri rumput laut. Www.belitungisland.com dalam studi profil investasi pulau Belitung menstratifikasi agroindustri berbasis perikanan dalam kelompok berikut ini :

Standar Kapasitas Produksi Agroindustri Perikanan
Jenis Agroindustri Skala Kapasitas produksi
Musim Barat Musim Timur Rata-rata
Industri Pembekuan

Ikan (cold storage)
Kecil 100 kg/hari 10 ton/hari –
Industri Penangkapan

&Pendinginan Ikan
Kecil – – 15 ton/hari
Industri Pengasinan

Ikan
Kecil – – 500 ton/thn
Industri Pengalengan

Ikan
Kecil – -100.000 ton/thn

Sumber: http://www.belitungisland.com

Penawaran hasil perikanan bersumber dari produksi, kelebihan stok dan impor (Parwinia:2003). Untuk hasil perikanan seperti shellfish yang sifatnya cepat rusak, hanya dapat disimpan selama beberapa jam setelah panen/penangkapan kecuali disimpan dalam keadaan dingin (refrigated condion), maka produksi merupakan sumber penawaran terpenting (Hanafiah et.al., 1986:80). Menurut Rahardi et.al (2001:4), sasaran pemasaran komoditi perikanan berkaitan erat dengan tiga variabel, yakni: Jenis ikan yang dipasarkan, Konsumen yang dituju, dan Jumlah permintaan konsumen.

Pasar domestik diisi oleh permintaan komoditi perikanan oleh masyarakat untuk konsumsi harian (Nikijuluw,1997:280), dan kebutuhan industri pengolahan yang melayani konsumen domestik, baik yang sifatnya industri rumah tangga maupun industri skala menengah dan besar. Produk dari agroindustri maupun dari nelayan kemudian dipasarkan mengikuti rantai pemasaran tertentu. Menurut Hanafiah (1986:28), panjang pendeknya saluran tata niaga yang dilalui oleh suatu komoditi perikanan tergantung pada beberapa faktor, yakni:

1. Jarak antara produsen dan konsumen,
2. Cepat tidaknya produk rusak,
3. Skala produksi,
4. Modal pengusaha.
5. Subsistem Agribisnis Penunjang kegiatan perikanan (agrosupporting institutions), merupakan kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti perbankan, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, transportasi. Salah satu subsistem penunjang yang memiliki peran signifikan ialah organisasi nelayan.

Keterkaitan Fungsional dalam Pengembangan Kegiatan Perikanan

Secara sektoral, perkembangan wilayah terjadi melalui satu atau beberapa pertumbuhan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan kegiatan ekonomi akan merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi lainnya, terutama kegiatan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Perkembangan wilayah melibatkan hubungan berbagai kegiatan dalam perekonomian daerah yang luas. Berbagai rangkaian kegiatan memberikan peluang-peluang produksi dari suatu kegiatan ke kegiatan lain di dalam perekonomian daerah, sehingga mengakibatkan pertumbuhan atau kemunduran wilayah (Hoover,1977 :37). Rangkaian ini dapat berupa keterkaitan hulu dan hilir. Berbagai teori tentang pendorong pertumbuhan daerah menekankan peranan permintaan output-output daerah dan rangkaian kegiatan atau sektor ekonomi yang mengarah ke muka (keterkaitan hilir).

Konsep teori kutub pertumbuhan menekankan perlunya industri utama (leading industri) dikembangkan disuatu wilayah dan memiliki kaitan-kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor lain. Kaitan-kaitan ini dapat berbentuk (Glasson,1977:174):

1. Kaitan ke depan (forward linkage), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio penjualan hasil industri antara yang tinggi terhadap penjualan total
2. Kaitan ke belakang (backward linkage), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio yang tinggi terhadap input.

Teori kutub pertumbuhan sangat bertumpu pada kedua kaitan ini karena berperan dalam penjalaran pertumbuhan dari sektor utama ke sektor pendukung yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dalam wilayah maupun pertumbuhan ekonomi wilayah lain.

Di Indonesia, setelah diberlakukannya konsep otonomi daerah dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang bottom-up, sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah harus dapat mendayagunakan sumberdaya yang terdapat atau dikuasai oleh masyarakat di daerah tersebut. Cara yang paling efektif untuk membangkitkan pengembangan sektor ekonomi berbasis kegiatan sumberdaya alam di Indonesia adalah melalui pengembangan agribisnis, yang tidak saja mencakup pengembangan pertanian primer (on farm agribusiness) tetapi juga mencakup industri yang menghasilkan sarana produksi (up stream agribusiness) dan industri-industri yang mengolah hasil pertanian primer dan kegiatan perdagangannya (down-stream agribusiness).

Keterkaitan yang harmonis antara sub-subsistem agribisnis perikanan mutlak dibutuhkan untuk mencapai tingkat produktifitas dan nilai jual yang tinggi pada komoditi perikanan (Anonim, 2002:2). Menurut Sadjad (2003:1), sebagai sebuah pola sistem, agribisnis merupakan sebuah entitas yang ditopang oleh subsistem yang diantara satu sama lainnya terjalin hubungan saling ketergantungan yang agregatif dan berfungsi untuk mencapai seluruh target sistem, bukan sekedar target masing-masing subsistem. Antar subsistem terjadi “harmonious orderly interaction” dan agribisnis yang dibangun merupakan bentuk “social economic organization” yang berorientasi bisnis.

Hirchman mengemukakan bahwa dalam kegiatan produksi mekanisme perangsang pembangunan yang tercipta merupakan akibat adanya hubungan antar berbagai industri (sektor) dalam menyediakan barang-barang yang digunakan sebagai bahan mentah bagi industri (sektor) lain. Interaksi ini terdiri atas pengaruh hubungan ke belakang (backward linkages) atau keterkaitan hulu, dan pengaruh hubungan ke depan (forward linkage) atau keterkaitan hilir. Pengaruh keterkaitan hulu adalah tingkat rangsangan yang ditimbulkan oleh industri terhadap perkembangan industri/sektor lain yang akan menyediakan input bagi industri tersebut. Sedangkan pengaruh keterkaitan hilir adalah tingkat rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu industri terhadap perkembangan industri yang menggunakan output industri pertama sebagai inputnya.
Aspek Lingkungan dalam Pengembangan Kegiatan Perikanan

Dalam mewujudkan sistem agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan ada dua isu lingkungan yang perlu dijawab: Pertama, Meningkatkan tuntutan masyarakat global akan produk agribisnis yang memenuhi atribut ramah lingkungan (eco-labelling) dan aman dikonsumsi (food safety). Kedua, Kurang diperhatikannya aspek lingkungan ke dalam kegiatan agribisnis di Indonesia sehingga mengakibatkan: Penurunan produktivitas sumberdaya alam; meningkatnya biaya input dan proses agribisnis untuk memenuhi standar mutu pasar; dan terancamnya keberlanjutan kegiatan agribisnis dalam jangka panjang.

Oleh karena itulah, Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dalam kebijakan dan program pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian 2001-2004 merumuskan Program Pengembangan Agribisnis Berwawasan Lingkungan (Eco-agribusiness). Program ini tersusun dari sub-program pengembangan Eco-Agroindustri, Eco-Farming dan Organic-Farming, yang saling mendukung dan secara keseluruhan merupakan implementasi dari kebijakan dan strategi yang difokuskan pada pengembangan instrumen sistem pengelolaan lingkungan untuk mewujudkan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Program pengembangan Eco-agribisnis menyangkut seluruh rangkaian kegiatan agribisnis, baik agribisnis hulu (up-stream agribusiness), usahatani (on-farm agribusiness), maupun hilir (down-stream agribusiness). Sasaran program ini adalah: Meningkatnya daya saing dan kualitas produk agribisnis karena memenuhi atribut eco-labelling dan food safety yang dituntut konsumen sehingga memacu ekspor; Berkembangnya usaha baru (terutama mikro,kecil dan menengah) dan kesempatan kerja produktif di subsistem hulu/hilir yang mendukung pengembangan eco-agribusiness Terpeliharanya kualitas dan produktivitas SDA sehingga menjamin pengembangan agribisnis berkelanjutan dalam jangka panjang; Meningkatnya efisiensi, efektivitas dan produktivitas proses produksi karena penerapan instrumen pengelolaan lingkungan, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam memelihara produktivitas sumberdaya alam sehingga menjamin pengembangan agribisnis yang berkelanjutan dalam jangka panjang pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield/MSY). Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Menurut Suyasa (2003:3), konsep MSY berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum, dan belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented) dan ekonomi.

Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Hasil kompromi 2 pendekatan tersebut melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian, besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Di Indonesia, konsep TAC diaplikasikan dengan nama JTB atau Jumlah Tangkapan diperbolehkan yang diatur dalam SK Mentan No. 995/Kpts/IK.210/ 9/1999. JTB adalah banyaknya sumberdaya ikan yang boleh ditangkap dengan memperhatikan pengamanan konservasinya di wilayah perikanan Indonesia. Penetapan jumlah JTB disuatu kawasan penangkapan ikan (fishing ground) sebesar 80% dari MSY.

sumber : ferrianto djais,DKP.2009


2 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. artikelnya menarik sekali, lebih menarik lagi kalau ada daftar pustakanya 🙂
    mas, artikel ini saya cari di newsletter kok tidak ada ya? boleh minta link-nya?
    terima kasih.

    Suka

  2. Menarik konsep Minapolitan…apakah budaya nenek orang dilautan kita masih berjaya atau berdaya ya…

    Suka


Tinggalkan komentar


Entries dan komentar feeds.